Tomanurung Bainea
Dalam legenda orang-orang Gowa, diceritakan bahwa Raja yang pertama memerintah di Kerajaan Gowa bernama Tumanurung Bainea (Putri yang turun dari Kayanga) . Beliau
sengaja diutus ke Butta Gowa untuk menjadi pemimpin, dimana saat itu,
Gowa dilanda perang saudara. Tumanurung pertama kali memerintah di Gowa
pada tahun 1320 hingga 1345.
Tumanurung adalah bukanlah nama aslinya. Namanya tidak diketahui sehingga masyarakat pada saat itu memberinya nama Tumanurung.
Tak ada satu catatan sejarahpun masa itu
yang bisa mengungkapkan kedatangan Tumanurung di Butta Gowa. Hanya
saja, pemikiran masyarakat Gowa saat itu yang menganut animisme ditambah
dengan pengaruh Hindu sebagai akibat dari pengaruh Kerajaan Majapahit
(Abd IV – XV), dimana agama hindu juga ada pengaruhnya di wilayah timur
nusantara ini.
Dalam konsep animisme ataupun Hindu,
mempercayai adanya Dewa yang turun dari kayangan juga ada Dewa dari air.
Berdasarkan konsep pemikiran itulah, muncul nama Tumanurung yang
berarti Ratu Putri yang turun dari Negeri Kayangan, sedang Raja yang
datang dari air disebut Karaeng Bayo (Bayo= air) yang menjadi suami Ratu
Tumanurung.
Mahkota yang konon dibawa oleh Tumanurung Bainea
Konsep Tumanurung sebagai Raja Gowa
pertama ini juga dianut oleh beberapa daerah bekas kerajaan di Sulawesi
Selatan, seperti di Luwu, Bone, Toraja, Enrekang, Mandar dan beberap
daerah lainnya.
Sebelum datangnya Tumanurung di Butta
Gowa yakni pada masa Gowa Purba, dapat diketahui bahwa ada empat Raja
yang pernah mengendalikan Gowa yakni;
- Batara Guru
- Saudara Batara Guru yang dibunuh oleh tatali (tak diketahui nama aslinya)
- Ratu Supu atau Marancai
- Karaeng Katangka yang nama aslinya juga tidak diketahui
Saat itu Gowa masih terdiri dari 9
perkampungan kecil yang disebut Kasuwiang. Kesembilan Kasuwiang itu
dimaksud adalah : Tombolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data, Agang
Je’ne, Kalling dan Sero. Pada masa itu, rakyat di 9 kasuwiang dilanda
perang saudara antara Gowa di bagian utara dan Gowa di bagian selatan
seberang sungai je’neberang. Paccallaya sebagai ketua Federasi ke 9
negeri itu tak mampu mengatasi perang saudara tersebut. karena fungsi
Paccallaya hanya sebagai lambang dan tak punya pengaruh kuat pada
anggota persekutuan yang masing-masing punya hak otonom.
Untuk meredakan peperangan, diperlukan seorang figur yang bisa diterima oleh semua pemimpin kaum dan rakyatnya.
Suatu saat, terdengar berita oleh
Paccallaya, bahwa ada seorang putri Ratu yang turun di atas Bukit
Tamalate, tepatnya di Taka’bassia. Paccallaya dan ke 9 Kasuwiang
bergegas menuju Bukit itu, saat penantian, orang-orang yang berdiam di
kampung Bonto Biraeng melihat seberkas cahaya dari atas langit. Cahaya
itu kemudian perlahan-lahan turun ke bawah hingga sampai di Taka’bassia.
Paccallayadan ke 9 kasuwiang itu duduk
mengelilingi taka’bassia sambil bertafakkur. Ketika cahaya itu turun di
Taka’bassia kemudian menjelma menjadi seorang putri cantik yang memakai
mahkota emas bertahtakan berlian, kalung emas, rantai emas, serta
gelang emas. Putri Ratu itu kemudian diberi nama Tumanurung Bainea..
Paccallaya dan kasuwiang salanga,
kemudian sepakat mengangkat putri ratu sebagai rajanya. Kasuwiang
Salapanga dan Paccallaya kemudian mendekati Putri Ratu seraya bersembah;
“Sombangku”! (Tuanku..) kami datang semua ke hadapan Sombangku, kiranya Sombangku sudi menetap di negeri kami dan Sombangku yang merajai kami.
Ketika Tumanurung menjadi Raja di Gowa,
kondisi keamanan di Gowa yang tadinya dilanda peperangan, tiba-tiba
berubah menjadi Negeri yang damai. Rakyat Gowa kala itu bersatu padu
untuk membangun Istana di atas Bukit Tamalate. Istana itu kemudian
diberinama “Istana Tamalate”.
Sebelum menjalankan roda pemerintahan,
Ratu Tumanurung dan Rakyat Gowa yang diwakili Kasuwiang Salapanga
melakukan dialog yang kemudian dijadikan sebagai kontrak sosial.
Cuplikan dialog sbb :
Anne Niallenu Karaeng
Karaengmako kau
Atamakkang I Kambe
Arinya ; kami mengangkat engkau menjadi Raja kami, engkau adalah raja dan kami adalah hamba rakyat tuanku.
Makkanamako Kumammio
Niaya punna Massongongkang
Tamalembarakkang
Punna Mallembarakkang Ramassongkang
Artinya ; Bertitahlah engkau dan
kami akan tunduk dan patuh, kalau kami menjunjung, maka kami tidak
memikul, kalau kami tidak memikul maka kami tidak menjunjung.
Maksudnya, segala titah raja kami
junjung tinggi, akan tetapi jika perintah tuanku tidak adil maka
perintah itu tidak kami laksanakan oleh Kasuwiang Salapanga.
Putri Ratu Tumanurung yang bersuamikan Karaeng Bayo ini kemudian melahirkan seorang anak bernama Tumassalangga Baraya yang kelak menggantikan beliau sebagai Raja di Gowa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar