Anda Suka membaca Kisah Masa Lampau ??

Translate

Minggu, 25 Maret 2012

Raja Gowa XIV

I MANGA’RANGI DAENG MANRABBIA 

SULTAN ALAUDDIN


Penobatan I Manga’rangi Daeng Manrabbia sebagai Raja Gowa XIV masih tergolong muda. Usianya saat itu baru memasuki 17 tahun. Pengangkatannya itu dilakukan atas keputusan Bate Salapanga.
Karena belum Dewasa, maka Raja Gowa I Manga’rangi mempercayakan pada pamannya I Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Katang atau Karaeng Matowaya selaku Raja Tallo juga Mangkubumi Kerajaan Gowa saat itu untuk menjalankan roda pemerintahan.

Ibunda Daeng Manrabbia bernama I Sambo Daeng Niasseng, adalah saudara kandung dari Mangkubumi Kerajaan Gowa I Mallingkaang Daeng Nyonri.
Kedatangan tiga Dato dari Minangkabau, masing-masing Dato ri Bandang, Dato Pattimang dan Dato Tiro untuk menyebarkan Islam di Kerajaan Gowa dan beberapa kerajaan di wilayah timur Nusantara ini.  Gayung bersambut misi tiga Dato diterima baik di Gowa. Dato ri Bandang menyebar agama Islam di Gowa, Dato Pattimang di Luwu dan Dato ri Tiro di Bulukumba.
Raja Gowa I Manga’rangi Daeng Manrabbia bersama Mangkubuminya saat itu menerima baik misi Abdul Makmur Khatib Tunggal Dati ri Bandang ini untuk menjadikan agama Islam sebagai agama Kerajaan di Butta Gowa. Sebagai kecintaan terhadap Islam, Raja Tallo I Mallingkaang pertama-tama mengucapkan kalimat Syahadat kemudian disusul oleh Raja Gowa I Manga’rangi Daeng Manrabbia dan secepat itu pula, Islam menyebar di seluruh pelosok kerajaan. Sebagai bukti bahwa Islam sudah menjadi agama kerajaan di Gowa, ditandai dengan Sembahyang Jum’at pertama di Tallo pada tanggal 9 November 1607 atau 19 Rajab 1016 H.
Setelah memeluk Islam, I Manga’rangi Daeng Manrabbia mendapat gelar Islam yakni Sultan Alauddin dan Mangkubuminya I Mallingkaang Daeng Nyonri mendapat gelar Islam Sultan Abdullah Awwalul Islam.
Sebelum Islam masuk, para raja di Sulawesi Selatan pernah membuat perjanjian yang isinya : Siapa yang menemukan suatu jalan yang lebih baik, berjanji untuk memberitahukan tentang jalan itu kepada Raja-raja lainnya.
Namun perjanjian seperti itu banyak yang disepelekan oleh sebagian Raja-Raja di Sulsel. Sultan Alauddin yang menjadikan Gowa sebagai pusat penyebaran Agama Islam di wilayah timur nusantara ini, terus mengembangkan Islam baik secara damai maupun perang.
Beberapa Kerajaan di daerah Bugis, seperti Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng dan lainnya menolak keras ajakan Raja Gowa. Akibat penolakan itu, Raja Gowa terpaksa angkat senjata dan mengirim Bala Tentaranya ke daerah itu. Tahun 1608 beberapa pasukan gabungan Kerajaan Bugis itu mengalahkan Gowa, namun pada tahun berikutnya, semuanya berhasil ditundukkan dan bersedia menerima Islam sebagai agama Kerajaannya. Sidenreng dan Soppeng pada tahun 1609, Wajo tahun 1610, Bone tahun 1611. Perang Islam di tanah Bugis saat itu disebut Musu Assalengeng (Perang Islam).
Raja yang pertama memeluk Islam di Tanah Bugis adalah Arung Matowa Wajo ke-XV La Sangkuru Patau dengan gelar Sultan Abdul Rahman, Datu Soppeng XI BeowE, Raja Bone XI Latenriruwa MatinroE ri Bantaeng yang bergelar Sultan Adam. Penerimaan Islam dari para raja itu kemudian diikuti masing-masing rakyatnya.
Di Bidang Ekonomi dan perdagangan, Gowa  ditangan Sultan Alauddin dan Mangkubuminya I Mallingkaang  berkembang semakin pesat. Hal tersebut karena Sombaopu berubah menjadi Dermaga Internasional yang telah bayak didatangi oleh Pedagang dari luar negeri, seperti Portugis, Belanda, Inggris, dan Spanyol.
Kedatangan orang Belanda di Tanah Gowa, tak hanya berdagang semata, mereka ingin melakukan monopoli perdagangan. Bujukan Belanda terhadap Raja Sultan Alauddin untuk bersedia melakukan kerjasama dengannya ditolak mentah-mentah oleh Raja, seperti halnya pada tahun 1607 Laksamana Belanda Cornelis Metalief mengutus Abraham Matyas untuk menghadap Raja Gowa. Belanda minta agar sama-sama dengan Gowa menaklukkan Banda supaya Belanda bisa melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di sana. Ajakan ini jelas ditolak Sultan. Bahkan Sultan secara tegas mengatakan kerajaannya adalah Negara terbuka untuk semua bangsa.
Tahun 1615 datanglah kapal Belanda Enkhuyszen berlabuh di Sombaopu. Abraham Sterk, Kepala Kantor dagang Belanda di Sombaopu mengadukan Scheepsraat kepada awak bahwa ia sering diganggu oleh orang Spanyol dan Portugis. Sedang Sultan melindunginya. Atas pengaduan itu Belanda tutup kantor dagangnya di Sombaopu. Untuk balas dendam, maka Abraham Sterk De Vries menjalankan tipu muslihat dengan mengajak pembesar Gowa untuk datang ke Kapal Enkhuyzen. Setelah semua tamu diatas, Pembesar Gowa dilucuti senjata sehingga terjadi perkelahian. Dalam peristiwa itu, ada dua keluarga Sultan tertawan diatas kapal dan dibawah ke Banten Jawa Barat.
Pada tahun 1616 kedua keluarga Sultan yang ditawan dikembalikan ke Sombaopu melalui kapal De Eendrach. Ketika Juru Mudi dan awak kapal berjumlah 15 orang itu turun dari kapal, mereka memperlihatkan tingkah laku yang congkak. Rakyat Gowa sangat marah, apalagi mengingat peristiwa yang terjadi tahun 1615 silam, membuat prajurit Gowa mengambil tindakan. Mereka lalu membunuh semua awak Kapal Eendrach itu.
Walau dihadapkan dengan musuh Belanda, Sultan tetap berupaya memperluas Wilayah kekuasaannya, juga menyebar Islam. Tahun 1616 Panglima Perang Kerajaan Gowa Lokmo Mandalle menduduki Bima. Tahun 1618 Sumbawa juga diduduki Karaeng Marowanging, juga salah seorang Panglima Perang Gowa. Kemudian menusul pendudukan atas Buton, Muna dan pulau-pulau Sula diduduki tentara Kerajaan Gowa. Kemudian Sultan juga berhasil menguasai Maros, Pangkajene, Labbakkang, Segeri dan beberapa daerah disekitarnya. Bahkan prajurit Kerajaan Gowa berhasil menguasai Manado, Gorontalo dan Tomini.
Sekitar tahun 1627 – 1630 Armana perang Kerajaan Gowa membantu rakyat Maluku untuk membebaskannya dari cengkraman Belanda. Sebab Belanda telah banyak memusnahkan pohon cengkeh dan melakukan penyiksaan terhadap masyarakat di sana.
Setelah sekian lama memerintah, Mangkubumi Kerajaan Tallo I Mallingkaang Daeng Nyonri wafat pada hari Rabu, 1 Oktober 1636 dan beliau mendapat gelar Tumenanga ri Agamana (Raja yang wafat didalam agamanya). Sedang Sultan Alauddin wafat pada 15 Juni 1639 setelah 45 tahun lamanya mengendalikan pemerintahan. Beliau mendapat gelar Tumenanga ri Gaukanna (yang mangkat dalam kebesaran kekuasaanya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungan Anda